Thursday, December 4, 2008

Intropeksi dirilah

Untuk Insan yang Berfikir....!
Introspeksi kepada diri ini akan perilaku yang sudah diperbuat untuk Islam, Untuk Allah dan Rasulnya, Mengeluarkan segenap kemampuan untuk berkorban lebih banyak lagi karena memang insan ini bodoh dan penuh rasa khilaf yang merasa sudah benar, sudah baik, sudah banyak amalannya, sudah pasti masuk surga, sudah disayang Allah, dan sudah2222.......padahal mah amal ini tidak ada apa-apa dihadapan Allah Swt, dibandingkan dengan insan sholeh para dahulu kala seperti halnya para sahabat Nabi, Para Tabiin, Para pejuang Islam yang berhasil mengembalikan kejayaan Islam atau mati di tiang gantungan. Maka oleh karena itu renungkanlah-renungkanlah.....!!! setiap amalan yang kita punya, Hisablah dirimu sebelum Allah menghisabmu dirimu.

Benarkah engkau seorang pejuang? Mengaku diri sebagai pejuang, sebagai jundullah, sebagai aktivis, namun akhlak maupun tsaqafahnya tidak mencerminkan hal itu. Mengaku diri sebagai mujahid, namun niat ternoda oleh selain-Nya. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sindir di dalam Al Qur’an :


“Apakah kamu mengira kamu akan dibiarkan saja mengatakan ‘kami beriman’ sedang mereka tidak di uji lagi?” (QS. Al Ankaabut: 2-3)



Sang Pejuang Sejati

Masing-masing kita sebaiknya mengevaluasi diri, apakah kita memang sudah benar-benar menjadi pejuang di jalan-Nya atau jangan-jangan, baru sebatas khayalan dan angan-angan kosong belaka. Inginkan syurga, tetapi tidak siap menggadaikan diri, harta dan jiwa.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. 3:142).

Ya,,, kita mengira akan masuk surga dengan pegorbanan yang sedikit, seakan ingin menyamakan diri dengan hukum ekonomi kapitalis, “Mendapatkan output yang sebesar-besarnya, semaksimal mungkin, dengan input yang seminimal mungkin.”

Aduhai,, sesungguhnya hari akhir itu adalah perkara yang besar. Dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi itu, sangat mahal harganya. Rasulullah SAW bersabda :

Generasi awal sukses karena zuhud dan teguhnya keyakinan, sedang ummat terakhir hancur karena kikir dan banyak berangan muluk kepada Allah.”

Saat nasyid-nasyid perjuangan dilantunkan, gemuruh di dalam dada menjadi berkobar-kobar untuk berjuang. Tetapi sayang, ternyata hanya tersimpan di dalam dada dan semangat itu ikut surut seiring dengan berakhirnya lantunan nasyid. Tidak keluar dalam amaliyah yang nyata.

Demi Allah, keimanan bukanlah dilihat dari yang paling keras teriakan takbirnya, bukan pula dari yang paling deras air matanya kala muhasabah, dan bukan pula dari yang paling ekspresif menunjukkan kemarahan kala melihat Israel menyerang Palestina. Bukan pula dari yang paling banyak simbol-simbol keagamaannya. Karena itu semua hanya sesaat.

Sesungguhnya keistiqomahan dalam berjuang, itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya. Pejuang yang sabar menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Illahi Rabbi. Yang selalu bermujahadah mengamalkan Al Qur’an. Teguh pendirian. Tak kenal henti. Hingga terminal akhir, syurga.

Pengorbanan

Apakah dengan memakai sedikit waktu untuk berda’wah, sudah menganggap diri telah melakukan totalitas perjuangan? Padahal para nabi tidaklah menjadikan da’wah ini hanya sekedarnya saja, tetapi sebagaimana dicantumkan dalam Surat Nuh ayat 5 :

“….Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam.”

Pun dalam surat Al Muzzamil,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah.”

Sejak ayat itu turun, sang nabi akhir zaman selalu siaga dalam kehidupan. Bahkan, hingga menjelang ajalnya, Rasulullah tengah menyiapkan peperangan untuk menegakkan Al Haq.

Sang pejuang, tetapi makanannya adalah sebaik-baik makanan, dan pakaiannya adalah sebaik-baik pakaian. Dan dengan tanpa rasa berdosa, asyik menonton sinetron-sinetron cinta dan acara gosip, mendengar lagu-lagu cinta, berghibah, perut kenyang, banyak tidur, dan mengabaikan waktu, lalu berharap mendapatkan syurga? Sangatlah jauh, bagaikan pungguk merindukan rembulan.

Alangkah berbedanya dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Mush’ab bin Umair dan para sahabat yang lainnya. Yang setelah mendapatkan hidayah, mereka justru menjauhi kemewahan hidup. Mereka mampu secara ekonomi, tetapi mereka tidak rela menikmati dunia yang melalaikan.

Seorang pejuang harus memahami jalan mendaki yang akan dilaluinya. Sang Nabi tak pernah tertawa keras apatah lagi terbahak-bahak. Dan hal itu dikarenakan keimanan yang tinggi akan adanya hari akhir, akan adanya syurga dan neraka. Ada amanah da’wah yang besar di pundaknya, lantas bagaimana mungkin seorang pejuang akan banyak bercanda? Imam Hasan Al Banna memasukkan “keseriusan” atau tidak banyak bergurau sebagai bahagian dari 10 wasiatnya. Dan dikisahkan pula bahwa Sholahuddin Al Ayyubi tak pernah tertawa karena Palestina belum terbebaskan.

Keringnya suasana ruhiyah di lingkungan kita, bisa jadi karena di antara kita -saat di luar halaqah- jarang saling bertaushiyah tentang hari akhir. Bahkan sungguh aneh, dapat tertawa dan tidak menyimak ketika Al Qur’an dibacakan di dalam pembukaan ta’lim. Atau saat kaset murottal diputar, mengobrol tak mengindahkan. Yang mengindikasikan bahwa Al Qur’an itu baru sampai di tenggorokan saja.

“Akan tiba suatu masa dalam ummat ketika orang membaca Al Qur’an, namun hanya sebatas tenggorokannya saja (tidak masuk ke dalam hatinya).” (HR. Muslim).

Dimanakah air mata keimanan? Ya Rabbi., ampunilah kelemahan kami dalam menggusung panji-Mu.

Kederisasi generasi sebaiknya tidak melulu tentang pergerakan dan mengabaikan aspek keimanan. Keimanan harus senantiasa dihembuskan dimana saja karena ia adalah motor penggerak yang hakiki. Iman adalah akar.

20 Muwashofat Sang Pejuang

Setidaknya, ada 20 kriteria yang harus dimiliki pejuang, yang disarikan dari Al Qur’an dan hadits, yaitu :

1. Aqidahnya bersih (saliimul ‘aqiidah)

2. Akhlaknya solid (Matiinul khuluqi)

3. Ibadahnya benar (Shohiihul I’baadah)

4. Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi)

5. Pikirannya intelek (Mutsaqqoful fikri)

6. Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi)

7. Mampu berusaha mencari nafkah (Qaadiirun ‘alal kasbi)

8. Efisien dalam memanfaatkan waktu (Hariisun ‘alal waqti)

9. Bermanfaat bagi orang lain (Naafi’un lighoirihi)

10. Selalu menghindari perkara yang samar-samar (Ba’iidun ‘anisy syubuhat)

11. Senantiasa menjaga dan memelihara lisan (Hifdzul lisaan)

12. Selalu istiqomah dalam kebenaran (istiqoomatun filhaqqi)

13. Senantiasa menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan (Gaddhul bashor wahifdul hurumat)

14. Lemah lembut dan suka memaafkan (Latiifun wahubbul ‘afwi)

15. Benar, jujur dan tegas (Al Haq, Al-amanah-wasyja’ah)

16. Selalu yakin dalam tindakan (Mutayaqqinun fil’amal)

17. Rendah hati (Tawadhu’)

18. Berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina’)

19. Senantiasa siap menolong (Mutanaashirun lighoirihi)

20. Bersikap keras terhadap orang-orang kafir (Asysyidda’u ‘alal kuffar)

Penutup

Menjadi pejuang, hendaknya bukanlah angan-angan kita belaka. Menjadi pejuang, memiliki kriteria (muwashofat) yang harus di penuhi. Jangan sampai kita terkena hadits ini, Akan datang suatu masa untuk ummatku ketika tidak lagi tersisa dari Al Qur’an kecuali mushafnya dan tidak tersisa Islam kecuali namanya dan mereka tetap saja menyebut diri mereka dengan nama ini meskipun mereka adalah orang yang terjauh darinya.” (Ibnu Babuya, Tsawab ul-A mal).

Pejuang di jalan-Nya hendaknya bukan dari kacamata kita, tetapi dari kacamata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah ruginya bila kita menganggap diri sebagai pejuang, padahal dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tak ada apa-apanya. Maka, bersama-sama kita memuhasabahi diri, agar cinta kita kepada-Nya bukan hanya angan semata, agar cinta kita tak bertepuk sebelah tangan. Karena pembuktian cinta haruslah mengikuti dengan keinginan yang dicinta. Jika tidak, maka patut dipertanyakan kebenaran cintanya itu. Cinta sejati, tidak hanya dimulut dan disimpan di dalam dada saja, tetapi harus dibuktikan, agar sang kekasih percaya bahwa kita mencintainya. Kita mencintai-Nya dan Dia pun mencintai kita.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya (Dien) maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya..” (QS. Al Maidah : 54 - 56).
_______________
PRO Madinah 1949

1 comment:

Zahrah Az Zahrawi said...

salamu'alaykum..
ukhty,benar..
mnusia itu slalu ta seiring dgn bcaranya..
ya Allah..
hinanya kami d mata mnusia..
mnarek,
hrp2..trus kekal istqamah d jln Tuhan..
=)



Agama dan Manusia
....Ialah ( Allah ) yang mengutus ( Nabi Muhammad ) dengan petunjuk yang nyata dan agama yang benar ( sejati ), supaya ia memenangkan agama itu ( islam ) diatas segala agama yang yang lainnya, walaupun orang2 musyrik membencinya. ( As-shaf : 9 )
Sejak adanya manusia dimuka bumi ini, sejak itu pula mulailah orang membuat sesembahan, tempat yang dipuja dan dipuji, tempat yang dianggap suci, karena manusia tahu, bahwa diluar dia ada berdiri satu kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar, lebih sempurna dari pada kekuatan dan kekuasaan yang ada pada dirinya. Orang menyembah batu dan kayu, menyembah tanah dan air, menyembah api dan angin, singkatnya macam-macam akal dan daya upaya manusia untuk mencari perlindungan, mencari keselamatan bagi dirinya semasa hidupnya.
Baca di Sumber Aslinya....
Siapakah Ghurabaa?
Rasulullah (saw) besabda:
“Islam dimulai sebagai sesuatu yang asing; dan akan kembali sebagai sesuatu yang asing. Beruntunglah bagi orang-orang yang terasing. “Para sahabat kemudian bertanya: ‘Siapa orang-orang asing Yaa Raslulullah?’ ‘Mereka adalah orang-orang yang menghidupkan sunnahku ketika orang-orang mulai memadamkannya''
Tujuan kita yang paling akhir adalah meraih ridha Allah (swt) dan memasuki Jannah (dalam wujud burung-burung hijau – sebagaimana telah dijanjikan untuk para syuhada) hanya bisa terpenuhi ketika kita mencegah yang munkar dan tetap berdiri teguh pada jalan yang benar pada saat orang-orang benar-benar telah berbuat kerusakan. Dalam kehormatan dengan kisah yang sama, Imam Ahmad berkata: “Mereka (orang-orang yang terasing) adalah seseorang yang tinggi (iman-nya) ketika orang-orang menjadi kurang (iman-nya).
Baca di Sumber Aslinya....

Aturan Ikhwan-Akhwat dalam Pergaulan
Pada Zaman Modern ini muda-mudi muslim begitu ambisius berkenan kepada hal-hal yang berbau adat modernitas, sayangnya mereka meniru akan modernitas kepada dunia barat yang menganut kepada ajaran Non Wahyu, mereka hanya menganut kepada hawa nafsu belaka, prilaku akan dunia barat penuh dengan kemaksiatan, dari memakai pakaiannya saja penuh dengan popularitas aurat bahkan mereka tidak malu kalau mereka berhubungan ciuman/kiss dengan bukan muhrimnya di jalan-jalan atau di media-media yang bersifat umum dan menurut mereka melakukan seperti itu sudah menjadi hal kebiasaan bahkan yang parahnya lagi mereka sering melakukan lebih dari itu. Aunubillahimindzalik.
Baca di Sumber Aslinya....